Sofyan A. Gani - Opini
BANYAK orang tua, terutama yang miskin, terlihat sedih dan tidak tahu
harus mengadu kemana dalam ketidakmampuan menghadapi setiap tahun ajaran baru
pendidikan. Orang miskin resah dan gelisah memikirkan dari mana uang untuk
membeli seragam sekolah dan keperluan lainnya disamping harus membayar sejumlah
dana pembangunan untuk sekolah tertentu. Apabila ada anak mereka yang akan
kuliah, mereka pusing memikirkan uang SPP, sewa rumah, dan keperluan lainnya
untuk mendukung pendidikan anak mereka. Dapat saja pejabat pemerintah dan para
politisi mengatakan di Indonesia sekolahnya gratis sehingga menjadi angin surga
buat yang mendengar. Sayangnya, pada saat awal tahun ajaran orang tua miskin
harus menghadapi kenyataan bahwa sekolah gratis jauh dari kenyataan.
Tidak ada yang membantah bahwa setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan dan pengajaran karena hal itu telah dijamin
oleh undang-undang. Sayangnya, negara tidak pernah melihat dan menanyakan
bagaimana seorang warga yang miskin untuk menyekolahkan anak mereka.
Pelaksanaan wajib belajar 9 tahun merupakan sesuatu yang menggembirakan, tetapi
adakah jaminan bahwa setiap anak dapat menyelesaikan pendidikan sampai tamat SMP/MTs
atau sederajat tanpa harus membayar? Tunggu dulu. Beruntung kita di Aceh punya
banyak dayah yang dengan ikhlas menampung anak-anak dari keluarga miskin untuk
belajar dan menambah ilmu agama dengan biaya seadanya. Namun, tidak semua orang
tua memanfaatkan lembaga ini karena berbagai alasan sehingga membiarkan anak
mereka tumbuh dan berkembang dengan pendidikan sangat minim atau tidak sama
sekali sehingga dapat diprediksi kondisi masa depan mereka tidak jauh bergeser
dari keadaan orang tua mereka sekarang.
Dalam kontek Aceh, UU PA No. 11 tahun 2006 dan
perkuat kembali dalam Undang-undang Pendidikan Aceh No. 5 tahun 2007 sangat
berani menjamin setiap anak dapat bersekolah sampai SMA (wajib belajar 12).
Sayangnya, jabaran isi undang-undang tersebut tidak jelas sampai hari ini
sehingga tidak ada mekanisme untuk membantu orang miskin yang terpinggirkan
walau mereka punya cita-cita untuk mengubah nasib melalui pendidikan anak
mereka. Artinya, putra putri Aceh yang potensial tetapi lahir jauh dari kota
dan berasal dari keluarga tak punya harus mengubur mimpi-mimpi mereka karena
keadaan yang memaksa. Tidak ada yang membantah kalau Aceh punya banyak uang dan
tidak perlu dipolemikkan bahwa dana pendidikan Aceh sangat besar, tetapi adakah
mekanisme yang menjamin bahwa yang miskin merasakan keberadaan uang tersebut?
Uang (beasisiswa) untuk hak anak yatim saja, tidak mampu disalurkan tepat waktu
(Serambi, Selasa 6 Juli 2010) sedangkan orang tua sangat membutuhkannya di awal
tahun ajaran pendidikan. Jangan pernah dibayangkan apalah arti uang 50 ribu.
Bagi sebagian kita mungkin ‘ya’, tapi bagi orang miskin, mencari sepuluh ribu
saja harus memungut kardus sampah untuk dijual.
Mengangkat martabat yang miskin tidak melulu
melalui sektor ekonomi dengan cara meningkatkan taraf pendapatan mereka.
Memberi kesempatan kepada anak miskin untuk bersekolah sampai jenjang tertentu
juga merupakan salah satu cara untuk memutuskan rantai kemiskinan. Jika tidak,
uang Aceh yang melimpah sepertinya dinikmati oleh kalangan tertentu saja,
terutama yang berpendidikan, tinggal di kota dan punya akses ke pemerintahan di
provinsi dan kabupaten/kota. Sebaliknya, orang desa, miskin, dan tak berdaya
tetap bergelut seperti biasa tanpa mengetahui apa itu dana otonomi khusus dan
dana bagi hasil migas. Membantu pendidikan anak miskin tidak begitu susah
sejauh ada keinginan dan niat baik dari pemegang kekuasaan. Pemerintah pusat
melalui dana BOS telah membuat program untuk membantu anak miskin dan dianggap
“berhasil” oleh sebagian orang dan tidak mencapai sasaran kata sebagian
lainnnya. Seharusnya, pemerintah daerah baik diprovinsi maupun kabupaten/kota
juga mempunyai mekanisme untuk membantu anak miskin supaya siap masuk sekolah
dan tetap bertahan kalau sudah berada disekolah dan dibangku kuliah.
Pemberian beasiswa telah dilakukan oleh
pemerintah provinsi dan beberapa kabupaten/kota untuk siswa dan mahasiswa yang
berprestasi walau dalam jumlah yang sangat terbatas. Sayangnya, anak miskin
yang tidak berprestasi sering luput dari perhatian. Akibatnya, kecenderungan
untuk putus sekolah di kalangan mereka cukup tinggi. Untuk itu, mekanisme
pemberian beasiswa tersebut harus diatur secara benar dan transparan dengan
peraturan gubernur (Pergub) sehingga anak miskin bisa menamatkan sekolah paling
kurang untuk tingkat Sekolah Menengah Atas, bahkan lebih baik kalau sampai
menamatkan akademi atau universitas. Sudah saatnya pemerintah Aceh dan
kabupaten/kota menghentikan retorika pembangunan yang pro miskin jika perhatian
pada anak miskin terabaikan. Sangat naif kalau ada yayasan dibantu milliaran
rupiah, tetapi kondisi anak miskin berjalan ditempat dari tahun ke tahun.
Mekanisme membantu anak miskin tidak ruwet kalau
ditangini oleh orang profesional dan itu sudah sangat sering dilakukan orang .
Yang sangat penting adalah keinginan tulus untuk memperhatikan mereka yang
kemudian dituangkan dalam bentuk program nyata, bukan retorika dan tidak untuk
kepentingan politik. Bersyukur ada kabupaten/kota yang sudah memulai
memperhatikan ini, tetapi dengan jumlah dana sangat terbatas. Sayangnya,
bantuan seperti itu bukan naik, malah turun dari tahun ke tahun. Bantuan
beasiswa dari Pemerintah Aceh untuk mahasiswa Unsyiah tahun 2010, sebagai
contoh, turun sangat drastis menjadi seperempat dari tahun sebelumnya dengan
alasan yang tidak jelas.
Agar bantuan tepat sasaran maka cara membantu
dapat didiskusikan. Dapat saja dalam bentuk melengkapi dana BOS dengan sasaran
anak miskin. Dapat juga dalam bentuk beasiswa yang dikelola secara transparan
dan tepat sasaran. Tidak salah mengikuti pola penyaluran dana anak yatim yang
telah dilaksanakan selama ini (tentu setelah diperbaiki mekanismenya). Kalau
memang diperlukan komisi, lembaga atau apapun namanya yang kredibel perlu
dibentuk untuk melaksanakan amanah ini. Sangat masuk akal juga kalau anak-anak
dari keluarga fakir atau miskin disalurkan ke dayah-dayah baik yang modern
maupun yang tradisional dengan mendapat bantuan penuh dari pemerintah Aceh.
Jika hal itu tidak memendapat perhatian, kita terutama pemerintah Aceh
(provinsi dan kabupaten/kota) menjadi yang bersalah telah menguburkan masa
depan anak-anak miskin.
Akhrinya, sungguh kita menjadi orang-orang yang
tidak amanah yang hanya memikirkan diri, keluarga, dan kroni-kroni dekat dengan
mengabaikan hak-hak orang lain yang mestinya di bawah tanggung jawab kita.
Banyak orang bersyukur dan bergembira karena anak mereka telah diwisuda.
Sebaliknya, banyak keluarga miskin harus menangis dan tidak tau harus melapor
kemana untuk mendapatkan pakaian seragam dan buku sekolah saat-saat tahun ajaran
baru seperti ini. Tidakkah itu memprihatinkan kita semua?
* Dr. Sofyan A. Gani, MA Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala Banda
Aceh.
sumber : Sat, Jul 17th 2010, 08:33 serambinews.com